Senin, 08 April 2013

Seberkas Keagungan Sang Rasul


Judul: Seberkas Keagungan Sang Rasul, Puitisasi Nazham Maulid wal Mi’raj Nabi Muhammad Saw)
Penulis:  Andi Munandar
Penerbit:  Pustaka Nur Ilahi, Bandung
Tahun:  November, 2011
Nazhaman dan pupujian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi pesantren. Keduanya adalah produk kreativitas para ulama dan kiai terdahulu di negeri kita. Mereka bekerja keras merangkum berbagai kitab yang berat-berat dan tebal-tebal untuk kemudian digubah ke dalam bentuk nazham (puisi, syair) dan pupujian (berasal dari kata puji-pujian). Tujuannya memudahkan  para santri menghapal materi-materi pelajaran dan pesan-pesan moral yang disampaikan.

Melalui nazahaman dan pupujian, para santri dan juga kaum awam, merasa lebih mudah dalam menghapal dan mencerna beragam materi keaga-maan yang berat. Apalagi lagam-lagam dan nada-nadanya yang bervariasi, bahkan satu nazham atau pupujian bisa dilantunkan dalam banyak versi lagam, membuat mereka lebih asyik dan bersemangat.
Dulu, tajug-tajug, langgar-langgar, mesjid-mesjid jami’, dan pondok-pondok, masih ramai dengan lantunan nazhaman dan pupujian—terlebih lagi di kampung-kampung—setiap sebelum shalat, sebelum ngaji, atau di saat-saat rehat. Menjelang shubuh—melalui pengeras suara di langgar-langgar atau di mesjid-mesjid—kita yang masih tertidur pulas,  dibangunkan dengan nazhaman dan pupujian; sebelum zhuhur, kita yang tengah sibuk-sibuknya bekerja, diingatkan dengan nazhaman dan pupujian; menjelang ‘ashar, maghrib, maupun isya, kita pun kembali disadarkan dengan nazhaman dan pupujian itu. Di setiap waktu shalat, lantunan-lantunan nazhaman dan pupujian itu selalu terdengar terngiang-ngiang, menyelusup ke dalam jiwa, meresap ke relung kalbu, dan mengetuk-ngetuk pintu kesadaran terdalam: kesadaran Ilahiyah.
Setiap kali lantunan berbagai nazhaman dan pupujian terdengar, aneka macam perasaan dan bayangan suka muncul dalam benak saya: rindu akan sosok Baginda Rasul, bahagia akan segala nikmat dan karunia Allah, takut akan siksa dan murka-Nya, hina karena sedikitnya amal dan masih banyaknya dosa yang diperbuat. Takjub akan kebesaran dan kekuasaan Allah, semangat untuk mencari bekal kebaikan, dan mendulang pahala dari-Nya, serta cemas dan harap kala terlintas bayangan kematian, apakah kelak  husnul khatimah atau su’ul khatimah.
Dulu, suasana religius terasa begitu hangat dan cita rasa keberagamaan pun terasa demikian kental. Namun, kini, seiring dengan perkem-bangan teknologi yang kian canggih, anak-anak dan remaja malah asyik dengan mainan baru-nya (HP, internet, game-game, lagu-lagu, tayangan-tayangan gaul, dan sejenisnya). Mereka asyik-masyuk dengan tontonan yang tidak menuntun, dengan tayangan yang tidak mendidik, yang secara tidak disadari, telah menggeser dan menggusur pola pikir, cara pandang, sikap, dan perilaku mereka yang tadinya religius menjadi urakan, yang tadinya patuh menjadi berontak dan brutal. Dan yang tadinya menjunjung tinggi nilai-nilai moral menjadi merendahkan, melecehkan, bahkan menginjak-injak nilai-nilai moral tersebut.
Ditambah lagi, dengan kaum tuanya yang semakin masyghul dengan pekerjaan dan urusannya sendiri, sehingga anak-anak mereka terabaikan moral dan agamanya. Para orang tua zaman sekarang sepertinya sudah merasa cukup dengan mencukupi kebutuhan jasmaniah anak-anak mereka, dan tidak menganggap penting lagi memperhatikan dan mencukupi kebutuhan ruhaniahnya. Akibatnya tampak jelas; tajug-tajug, langgar-langgar, dan pondok-pondok, banyak yang kosong.
Tak pelak, kenakalan remaja pun semakin menjadi-jadi, kriminalitas makin merajalela, perzinahan, pelecehan seksual, ketergantungan terhadap narkoba, dan segala bentuk kemaksiatan lainnya sudah begitu nyata. Terang benderang terjadi di mana-mana. Ini sangat memprihatinkan, apalagi sebagian besar pelakunya adalah kaum muda-mudi yang menjadi tulang punggung dan tunas harapan bangsa.
Kini, kita merasakan ada sesuatu yang hilang. Suasana religius yang dulu terasa hangat, kini begitu dingin dan beku. Cita rasa keberagamaan yang dulu terasa kental, kini menjadi luntur dan hambar. Langgar-langgar yang kosong, pondok-pondok yang sepi, nazham-nazhaman dan pupujian yang bisu, menjadi saksi akan kian merosotnya semangat keberagamaan di negeri ini. []